Rabu, 29 Februari 2012

Cerpen "Desember Disini"


DESEMBER DISINI

R

endi terpana, tak salah lagi! Kisah dalam cerpen di sebuah majalah remaja yang sedang dibacanya saat ini, adalah kisah tentang dirinya dengan Wanda. Tepatnya kisah dua tahun lalu. Rendi yakin itu. Tidak pernah ia sangka, Wanda Andini adalah nama samaran yang digunakan Wanda dalam setiap cerpennya. Kembali Rendi membaca ulang cerpen itu dan keyakinannya terjawab sudah. Kisah dalam cerpen itu benar-benar kisah dirinya dengan Wanda. Tidak ia sangka, Wanda berhasil menjadi penulis seperti sekarang ini. Dua tahun yang lalu, gadis itu memang pernah bilang padanya kalau suatu saat nanti, ia ingin membuat kisah cinta mereka dalam sebuah cerita. Saat itu, kemanisan hubungan mereka masih terjalin indah. Sampai suatu saat, …. Ah , begitu dalamkah luka yang yang ia torehkan di hati gadis itu? Hingga dalam setiap tulisannya, sudah dapat dipastikan nama Rendi selalu jadi tokoh cerita. Dan dalam setiap cerpennya, Wanda selalu mengungkapkan kegetiran cinta, patah hati, dan rasa kecewa yang mendalam. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba saja mendera hati Rendi. Yang pernah dia lakukan pada Wanda memang tidak pantas untuk dimaafkan.
            Rendi membuka dompetnya dan mengambil lipatan kertas yang terlihat sudah usang. Dua belas angka yang tertera di kertas itu memaksa Rendi memijit tombol angka di telepon. Nada tunggu terdengar. “Aku harus sanggup,“ harap Rendi dalam hati memberi kekuatan pada dirinya.
           “Bisa bicara dengan Wanda?”
           “Rendi?” Rendi tertegun. “Ya Tuhan, bahkan suaraku pun masih Wanda hafal. Begitu berartikah diriku untuknya?” keluh Rendi dalam hati.
           “Sekarang, aku berada di Pontianak. Aku ngin bertemu denganmu!” pinta Rendi perlahan.
           “Aku akan menunggumu di tempat biasa kita bertemu dulu,  sore ini!” putus Rendi akhirnya.
           Sore itu, di Café Ale-Ale tempat mereka dulu selalu menghabiskan waktu bersama seusai pulang sekolah. Café itu tenang, classic, dan romantik. Tapi, sore ini angin terasa begitu berhembus. Angin Desember yang begitu dingin. Wanda menatap sosok di depannya tak berkedip. “Rendi?” Cowok itu masih sama seperti dulu. Pesona senyum itu pun masih sama dengan yang Wanda ingat.
           “Aku tak pernah mengira, kita bisa bertemu lagi setelah perpisahan kita,” ucap Rendi membuka percakapan.
           “Aku sering membaca tulisanmu, tapi tak pernah menyangka kalau Wanda Andini adalah kamu. Aku baru mengetahuinya kemarin, saat membaca cerpen terbarumu,” lanjut Rendi.
            “Apakah aku begitu kejam di matamu, Da?” Hingga kau tak pernah lupa pada pengkhianatan yang dulu aku lakukan?” Wanda tersenyum hambar. Memori hitam dua tahun lalu seakan berlompatan di ujung matanya. Kejamkah Rendi? Salahkah yang dilakukannya? Setahun menjalin hubugan cinta, ternyata Rendi berkhianat menjali cinta dengan Tya Natalia, adik kelas mereka, pada waktu bersamaan. Sakit hati yang pernah melanda dua tahun lalu, kini terasa lagi di hati Wanda. Dan sungguh, itu terasa sangat pedih! Kebersamaan yang indah pernah terjalin diantara mereka dan kebersamaan itu harus pupus saat Rendi memutuskan pindah sekolah ke Jakarta. Kepergiannya dengan harapan dapat menghapus dirinya dari ingatan Wanda. Tapi nyatanya? Jangankan terhapus, rasa cinta pada Rendi justru tubuh semakin subur mengisi ruang hatinya. Perpisahan mereka tanpa kata sedikit pun. Jangankan kata saling memaafkan, kata putus pun tak pernah ada di antara mereka. Pertemuan kali ini, apakah untuk memutuskan benang tipis yang membentang antara dirinya dan Rendi?
            “Da, soal cerpenmu yang terakhir dimuat …”
            “Itu curahan hatiku!!” potong Wanda cepat. Rendi tertunduk, hanya dapat memandangi gelas minumannya.
            “Apakah karena kau masih mengharapkanku? Aku tidak pantas diharapkan, Da!” suara Rendi semakin melemah, walau ia mencoba untuk tetap tegar. Ada titik air menggenang di sudut mata Wanda. Itu karena dia terlalu mencintai Rendi. Hatinya penuh dengan nama Rendi, hingga tak sedikit pun tersisa ruang untuk mengukir nama yang lain.
             “Salahkah?” tanya Wanda tanpa bisa menahan air mata. Rendi menggeleng perlahan. Apa yang patut disalahkan? Cinta itu datang tanpa diminta, pergi pun kita tak akan pernah tahu. Apakah dia punya hak melarang Wanda untuk  tidak mencintainya?
             “Perpisahan kita dulu tak pernah ada kata putus. Mungkin pertemuan kali ini …”
             “Aku tak ingin putus! tanggap Wanda membuat Rendi terpana.

             “Maafkan aku, Da… Tapi, kita tak mungkin lagi bersama. Ada gadis lain yang kini menemani kesendirianku. Aku takkan bisa kembali padamu, karena aku tak ingin lagi melakukan kesalahan yang sama, seperti yang aku buat dulu padamu.”


             “Ini tak adil,” mata Wanda kembali berkaca-kaca.
             “Da, cinta tak harus memiliki kan?” Rendi mencoba bijak dengan kata yang diucapkannya. Kalau cinta tak harus memiliki, lalu apa gunanya cinta? Andai saja cinta itu bisa dilihat, andai saja cinta tu bukan sesuatu yang abstrak, aku ingin cinta itu seperti hati, kemana pun akan selalu dibawa pergi, hingga kita tak perlu lagi takut kehilangan cinta.
              “Rendi, aku ingin kejujuranmu. Pernahkah sekali saja dalam hatimu kau tulus mencintaiku? Atau cintamu dulu cuma untuk have fun?” Wanda ingin mendengar  kejujuran Rendi. Agar tak selamanya terpuruk dalam kebimbangan.
              “Aku tau jawabanmu adalah tidak!” Wanda tersenyum dengan terpaksa. Rendi memandang Wanda tak berkedip. Pupus sudah harapan Wanda untuk kembali membangun pondasi cinta yang telah retak dulu. Rendi merasa bingung dengan hatinya. Kalau mau jujur, akan ia katakan pada Wanda, sampai detik ini dia masih terus mengingat Wanda. Mengingat luka yang ia torehkan di sudut hati Wanda. Tapi Rendi sadar, permintaan maafnya tak akan pernah bisa mengobati luka hati Wanda. Setiap tetes air matanya sungguh membuat Rendi merasa sakit.
              “Aku tak ‘kan bisa lagi melangkah di sisimu!” ujar Rendi. Wanda balik menatapnya tak berkedip. Walau luka itu masih mengiringi setiap langkahnya, tapi Wanda tak ‘kan mampu menghapus cintanya pada Rendi. Mungkin benar apa yang dikatakan orang, cinta pertama itu memang sulit untuk dilupakan. Andai saja Wanda mampu memotong memori di otaknya, pasti ia akan memotong segalanya tentang Rendi. Tapi, memori itu begitu kuat, hingga tak mungkin lagi dilepas, walau mungkin suatu saat nanti, ia menemukan sisi cinta yang lain. Rasanya semua ini akan sia-sia saja. Wanda berusaha menahan air matanya. Perpisahan ini sama sekali tak diharapkan olehnya. Tak pernah terpikir, dia harus mengakhiri kisah cintanya dan dengan cara seperti ini. Tapi, Wanda berusaha berlapang dada, setidaknya pertemuan ini menebus pertemuan mereka dahulu. Rendi berusaha untuk jujur bahwa sampai detik ini dia masih mencintai Wanda. Tetapi, Rendi tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan pacarnya yang sekarang.
             “Hanya aku yang cukup terluka,” tegas Rendi. Rendi benar-benar tersiksa dalam posisi ini. Rendi mencoba memberi pengertian pada Wanda yang tertunduk menangis. Untuk kebahagiaan sekarang, harus mengorbankan dua hati.  

TAMAT

TEMA    : Kisah cinta remaja yang gagal membangun pondasi cinta.
ALUR     : Maju dan Mundur
TOKOH  : 1. Wanda Andini
                2. Rendi Saputra
                3. Tya Natalia
LATAR :
-          Tempat  : Rumah dan Café.
-          Waktu    : Siang dan Sore.
-          Suasana : Mengembirakan dan menyedihkan.
KERANGKA CERPEN :
-          Keterkejutan Rendi membaca cerpen Wanda.
-          Dua tahun lalu yang menjadi kenangan.
-          Pertemuan Rendi dan Wanda.
-          Perbincangan diantara mereka.
-          Kejujuran dan keputusan Rendi.
-          Harapan Wanda.
-          Kepergian Rendi untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar